Powered by Blogger.

THE BEAUTIFUL FROG

    • Home
    • Travel
    • Stories
    Photo by: Vincent & Felix karena saya ga kebayang bawa kamera ke gunung (parno, hehehe)


    Akhirnya saya naik gunung! :D


    Setelah lama mencari teman dan tanggal untuk mendaki gunung. Akhirnya tanggal 19 lalu saya dan 6 orang lainya berangkat menuju Gunung Gede.

    Entah kenapa dari dulu penasaran banget naik gunung. Walaupun beberapa kali pernah trekking seperti ke kawah ratu atau bukit-bukit kecil, tapi tetap aja berbeda dengan naik gunung beneran kan?

    Ok, jadi tanggal 18 malam, kita bertujuh berangkat dari Jakarta menuju basecamp Gunung Putri. Kira-kira kita sampai di basecamp jam 2 pagi. Langsung tidur dan bangun jam 6:30 untuk siap-siap pendakian. Rombongan kami terdiri dari 5 pendaki pemula dan 2 pendaki berpengalaman.  Penting banget untuk ada pendaki berpengalaman dalam kelompok, saat kita (para pendaki pemula) ingin mendaki sebuah gunung.

    Saat di basecamp, kami tidak sengaja bertemu dengan 2 orang kawan dari Umang, pendaki berpengalaman dalam rombongan kami. Akhirnya, tepat pukul 07:00 kamipun memulai pendakian bersama. Tentu saja diawali dengan doa.

    Jalur pendakian Gunung Gede melalui Gunung Putri ini adalah jalur tersingkat di banding jalur lainya. Tapi lumayan... karena nanjak terus dan jarang ada bonus (jalan landai). Jalurnya terdiri dari akar dan batu-batuan. Kebanyakan sih dari akar-akar pohon besar. Saya sendiri cukup terbantu dengan adanya akar dan pohon-pohon ini, jadi bisa pegangan. Lebih nyaman kalau bawa trekking pole, sayangnya saya nggak bawa, dan di jalur Gunung Putri ini jarang banget ada batang pohon atau ranting yang jatuh dan bisa dijadikan trekking pole :(

    Kalau saran saya sih, mending pergi  ke Gunung Gede ini jangan pas tanggal merah seperti saya karena ramainya poooll!! Di beberapa titik, kita bahkan harus mengantri untuk mendaki. Nah, hal ini bikin jadi makin capek karena ketika tempo jalan kita udah enak, jadi harus berhenti dan mulai membangun tempo lagi. Apalagi kalau berhenti malah jadi terasa pegal-pegalnya.

    Dari base camp ke Pos 1, kita masih melalui perkebunan warga dan jalanan masih agak landai walau dari awal sudah mulai menanjak dikit-dikit. Memasuki pos 1, langsung disambut hutan rimba. Dari situ perjalanan langsung menanjak terus. Jarak Pos 1 ke Pos 2 memakan waktu 1 jam.

    Perkebunan warga
    Di setiap pos ada warung menjual minuman dan makanan ringan. Lumayan buat mengisi perut dan menambah energi. Tapi jangan istirahat terlalu lama juga karena nanti jadi ke-enakan dan ritme jantung yang sudah pas jadi kembali normal lagi. Pos yang paling luas adalah pos 3, karena setelah dari Pos 3 ini, pendakian mulai lebih sulit, menanjak terus, dan lebih jauh.


    Kondisi pos 3, agak semerawut karena terlalu ramai

    Selama mendaki, saya hanya berpesan pada diri saya untuk tidak mengeluh sekalipun. Saya tahu betul, ketika saya mulai mengeluarkan keluhan, pasti jadi ngeluh terus dan akhirnya jadi capek. Mulai dari Pos 3, saya juga mendaki sambil nyengir. Nyengir biar nggak bete-bete banget akibat keringat yang makin bercucuran dan jalur yang nggak kelar-kelar nanjaknya. Pokoknya segala kalimat-kalimat motivasi saya keluarin supaya nggak mental breakdown. Terutama kalimat, “It’s only a physical pain, don’t add any mental pain, otherwise the misery will be multiplied” (kata-kata yang saya kutip dari meditasi Vipassana, cek post sebelum ini)

    Sampai di pos 4, kami sudah mulai senang karena tandanya kami sudah semakin dekat dengan alun-alun suryakencana. Tempat dimana kita akan mendirikan tenda.
    Oh ya, pendakian kami ditemani kabut dan hujan gerimis. Jadi rambut pasti basah karena cuaca lembab. Untung saya mengenakan kaos dan celana quick-dry, teman-teman yang menggunakan kaos katun sudah basah kuyup karena keringat. Saya juga mengantungi handuk quick-dry kecil untuk menyeka keringat supaya kulit tidak terlalu basah karena dapat membuat kita jadi lebih mudah kedinginan. Semakin ke atas semakin dingin. Dalam perjalanan menuju pos 4, saya juga sempat lemas dan sedikit sesak. Pada momen-momen inilah saatnya permen dan cokelat beraksi. Jangan lupa minum air juga. Saya hanya meneguk sekali tapi ditelan pelan-pelan supaya terasa banyak. Hehe. Soalnya kalau minum kebanyakan juga jadi mual.

    Untung ada pohon yang melindungi kita dari gerimis dan matahari

    Sekitar jam 4 sore (Saya benar-benar nggak liat jam lagi, jadi pakai perkiraan aja ya...) kami tiba di gerbang Alun-Alun Suryakencana. Wah, ramainya bukan main. Sampah pop mie, kopi, botol minuman dimana-mana. Heran juga sih, udah ke gunung tetap aja ga cinta alam. :(

    Kami beristirahat sejenak dan menunggu Umang yang cukup jauh tertinggal di belakang. Saat beristirahat, kami bertemu dengan 2 kawan Umang yang lain. Mereka memutuskan untuk masak roti bakar sebentar. Kamipun kecipratan, lumayan banget buat ganjel perut.

    30 menit kami penunggu Umang, tapi belum juga datang. Masalahnya, tenda utama dan logistik dibawa oleh Umang, kami hanya membawa tenda kecil kapasitas 2 orang. Tapi karena cuaca semakin dingin dan kami juga sudah basah semua, akhirnya kami memutuskan untuk jalan dulu ke Alun-alun Suryakencana bagian barat, dimana kami akan berkemah. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit.



    Perjalanan menuju tempat berkemah, diselimuti kabut pekat dan hujan
    Karena lama menentukan tempat untuk mendirikan tenda, kamipun jadi diguyur hujan lebat. Untunglah 2 kawan Umang tadi beserta rombongan lain kebetulan lewat dan segera membuka flysheet untuk kami berteduh. Barang-barang juga sudah sempat basah, tenda juga basah semua. Setelah tenda jadi, kami ber-5 (Para pendaki pemula) diminta untuk masuk dulu ke dalam tenda supaya tidak kedinginan. Sedangkan yang lain berteduh di tenda orang lain. Disana saya merasakan budaya gotong royong yang sudah lama tidak saya temui lagi di Jakarta. Cukup terharu melihat orang-orang ini dengan sukarela membantu kami, meminjamkan kompor untuk sekedar masak air panas supaya kami semua tidak kedinginan. Saya sering dengar bahwa pendaki-pandaki biasanya memiliki solidaritas yang kuat. Kali ini saya benar-benar mengalaminya.

    Sekitar 3 jam kami ber-5 duduk berdempetan di dalam tenda berkapasitas 2 orang (mungkin besarnya hanya sebesar 2 orang dewasa setinggi 160cm). 1 orang lagi, Dhifan, duduk dibagian luar tenda dengan beratapkan pelindung tenda. Mencoba memasak apa yang ada sambil menahan dinginnya angin ditengah hujan deras malam itu. Susu, energen, indomie. Yang penting perut terisi dulu. Gunung Gede ini cukup bahaya karena sering terjadi kasus hipotermia, jadi kami harus berhati-hati.

    Saat memikirkan kemungkinan terburuk jika Umang tidak juga datang, tiba-tiba kami mendengar beberapa orang memanggil nama Umang. Kami pun senang karena itu tandanya Umang sudah tiba dan kami semua bisa berganti pakaian. Kami berjalan ke seberang jalan untuk pindah ke tenda kapasitas 4 orang. Sedangkan tenda yang kami tempati ini dibiarkan dulu karena tidak memungkinkan untuk membongkar akibat hujan besar.

    Kami pikir ujian dari alam sudah selesai disitu. Namun ternyata tidak.

    Sebagai gambaran, tenda abu-abu adalah tenda kapasitas 2 orang yang kami tempati  ketika menunggu Umang, posisi awalnya berada sekitar 20 meter dari tenda yang akhirnya kami tempati untuk tidur. Tenda oranye adalah tenda tempat kami tidur, dan tenda kuning adalah tenda Umang dan Dhifan.
    Setelah berganti pakaian, kami baru sadar bahwa tenda kami ternyata basah hingga bagian dalam agak tergenang air. Kaus kaki saya basah semua, jaket juga sudah basah. Namun memang katanya jika hujan dengan angin, pasti tenda ikut basah juga. Akhirnya mau tidak mau kami menggelar matras, walaupun tetap rembes. Setelah makan malam, tadinya kami masih ngotot untuk bisa pisah 2 tenda karena tenda kapasitas 4 orang ini tidak memungkinkan untuk kami tidur ber-5. Tapi tiba-tiba hujan berubah menjadi badai diikuti angin besar.

    Pelindung tenda kamipun lepas. Kami terperangkap di dalam tenda dan hanya duduk menanti apakah badai akan segera reda. Kami jadi ngobrol-ngobrol sedikit tentang pendakian ini. Saya juga jadi ingat bahwa beberapa jam sebelum kami berangkat ke basecamp Gunung Putri, saya melihat 2 ekor kucing mati di jalan. Saya bukan orang yang mistis-mistis. Tapi 2 ekor kucing itu mengingatkan saya, bahwa jangan pernah angkuh karena kita bukan apa-apa. Begitu juga kondisi yang kita alami saat di tenda itu. Walau sebenarnya kami juga sudah punya ‘bayangan ideal’ akan pendakian kami ini dan bahkan mengeluh “Kenapa sih hujan! Kapan sih berhentinya...!?”, tapi Alam Semesta berkata lain dan kami sungguh tidak bisa berbuat apa-apa. Ini bukan wahana taman bermain yang bisa diatur oleh mesin, ini alam.

    Karena badai tidak juga reda dan kami tidak ada yang berani keluar, akhirnya kami memutuskan untuk menggelar sleeping bag dan tidur. Pk. 01:00, saya terbangun karena menggigil kedinginan. Punggung saya basah. Ternyata air sudah merembes hingga ke dalam sleeping bag. Ketahanan waterproof matras dan sleeping bag kami sudah tidak bisa menahan air yang terus perlahan masuk melalui tenda. Salah satu teman kami juga terbangun dan sempat kesal karena dia sama sekali tidak bisa tidur akibat baju yang basah dan posisi yang sangat sempit untuk bebaring. Dia juga tidur paling dekat dengan pintu tenda sehingga terasa lebih dingin. Karena saya takut dia terkena hipotermia, sayapun membuka emergency blanket saya agar dia bisa tidur. Kemudian dia bergantian berbaring dengan teman yang tidur di sebelahnya.

    Pk. 03:00, badai sempat reda dan terdengar suara orang-orang keluar tenda. Suhu juga sudah lumayan hangat. Tapi kemudian pk.04:00, dimana seharusnya kami bangun untuk summit, badai semakin besar. Kali ini angin tidak kasih ampun. Tenda benar-benar dipukul-pukul angin. Suhu juga semakin dingin, sepertinya mencapai 0-5 derajat celcius karena minyak goreng yang kami bawa menjadi beku (titik beku minyak adalah di bawah 7 derajat celcius). Saya sampai tidak berani tidur terlentang karena punggung akan basah dan sangat amat terasa dingin. Kamipun tidak jadi summit atau mendaki ke puncak karena kondisi alam dan kondisi tubuh tidak memungkinkan.

    Sungguh merupakan ujian yang harus kami lalui dari Alam Semesta.



    Cuaca pagi hari yang sangat dirindukan setelah semalaman diterjang badai


    Puji Syukur, pagi hari ketika kami bangun, matahari bersinar terang di antara kabut. Kami segera menjemur barang-barang kami yang basah. Setelah makan dan beres-beres, pk.13:00 kami turun. Merasa kurang kuat, saya bertukar tas dengan Dhifan. Tas Dhifan hanya sekitar 5 kilo karena logistik sudah terpakai, sedangkan tas saya sekitar 9 kilo. Saya cuma tidak mau ambil resiko karena jujur saat itu saya sudah sangat kelelahan.

    Jemur-jemur

    Masak-masak
    Foto dulu mumpung cerah ya kan!

    Kami turun melalui jalur Gunung Putri lagi. Ramainya bukan main. Jauh lebih ramai daripada saat kami mendaki. Kali ini saya banyak melihat anak kecil dan bayi. Heran juga sih berani bawa bayi kesana.

    Jalur juga sedikit berubah karena hujan badai semalam. Banyak pohon tumbang dan tanah longsor. Tanah juga menjadi licin. Beberapa kali orang terpeleset. Perjalanan turun ini lebih terasa berat karena tumpuan hanya pada kaki. Jempol juga terasa sakit karena selalu terkena sepatu saat turun. Ngomong-ngomong tentang sepatu, saya sangat bersyukur karena tidak jadi membeli sepatu gunung harga 300-san, karena benar kata mas-mas di toko outdoor waktu itu, “Percaya deh mbak, harga nggak bohong.” Sepatu saya yang saya beli dengan harga 700-san ini betul-betul membantu saya sepanjang perjalanan. Dengan sol dalam yang nyaman dan sol luar yang dirancang sedemikian rupa, telapak kaki saya jadi tidak pegal dan saya jadi tidak mudah terpeleset. Kaki juga jadi terlindungi dari genangan air karena waterproof. Pada perjalanan turun saya sudah agak kehilangan keseimbangan dan jalan juga tertatih-tatih karena lutut dan jempol yang sangat sakit. Tapi semakin dipikirkan maka rasa sakit akan semakin terasa. Jadi saya bablas terus sampai bawah.

    Pk. 19:00, dengan stamina yang hampir habis, kami akhirnya tiba di basecamp Gunung Putri. Kami langsung menuju warung dan makan malam. Rasanya nikmat menemukan kembali peradaban. Walaupun saya yakin bahwa manusia seharusnya hidup dekat dengan alam tapi lahir dan besar di kota merupakan tatangan tersendiri bagi saya saat kembali ke alam bebas.

    Pada akhirnya, pendakian ini mengajarkan saya banyak hal. Terutama saat harus pasrah dan tetap tenang karena kondisi yang tidak bisa dikendalikan. Untungnya walau alam tidak bisa diatur, kadar harapan bisa diatur agar tidak kecewa. ;)

    Terimakasih atas pengalamannya Gunung Gede,
    terimakasih Alam Semesta,
    sampai bertemu di lain waktu!

    Cao!






    ++ besoknya saya nggak kebangun sampai siang, dan badan sakit semua! Bonus kuku jempol kaki hitam karena darah beku. Hahhahaa!







    Continue Reading
    Setelah 1 tahun tidak menulis, akhirnya saya kembali lagi!


    2018 merupakan tahun dimana banyak sekali hal baru yang terjadi dalam hidup saya. Dari mulai menyusun skripsi, sidang, wisuda, kakak saya menikah, mulai menghadapi dunia kerja, dan yang terakhir mengikuti ret-ret meditasi Vipassana.

    Beberapa kerabat langsung menyerang saya dengan beberapa kalimat ketika tahu saya akan ikut ret-ret 'meditasi'. Beberapa diantaranya...

    "Wah...gue harus ketemu loe sebelum dan sesudah meditasi!"
    "Hah! Sepuluh hari nggak ngomong!?"
    "Itu bukannya kayak agama Buddha gitu?"
    "Nanti lu bisa melayang-layang gitu dong, Vi?"
    "Jangan-jangan itu sekte..."
    "Terus nanti loe disana ngapain aja...?...meditasi?"
    "Ada-ada aja deh loe..."
    "Hati-hati ya... jangan lupa pulang..."

    Tapi... apa sih Vipassana sebenarnya?

    Vipassana, yang berarti melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, adalah salah satu teknik meditasi paling kuno di India. Meditasi Vipassana diajarkan di India lebih dari 2500 tahun yang lalu sebagai obat universal untuk penyakit-penyakit universal, sebuah Seni Hidup.

    Vipassana bukanlah:
    • Suatu ritus atau ritual yang didasarkan pada keyakinan yang membuta.
    • Suatu hiburan intelektual maupun filosofis.
    • Suatu tempat peristirahatan untuk penyembuhan, liburan atau kesempatan untuk bersosialisasi.
    • Suatu pelarian dari cobaan dan masalah-masalah di dalam kehidupan sehari-hari.

    Vipasana adalah:
    • Suatu teknik yang akan menghapus penderitaan.
    • Sebuah metode pemurnian pikiran yang memungkinkan orang untuk menghadapi tekanan dan problema hidup dengan cara yang tenang, dan seimbang.
    • Suatu seni hidup yang dapat dipergunakan seseorang untuk memberikan kontribusi yang positif kepada masyarakat.
    (sumber: https://www.dhamma.org)


    Lalu bagaimana awalnya saya jadi ikutan Vipassana?

    Beberapa bulan yang lalu, setelah selesai proses skripsi yang melelahkan, saya memutuskan bahwa saya perlu berdiam diri sejenak. Saat itu, keuangan saya sedang menipis akibat persiapan dan riset untuk skripsi saya sehingga saya harus mencari alternatif liburan yang hemat. Lalu saya mulai mencari di google, apakah ada hal semacam ret-ret untuk detox atau semacanya. Setelah berseluncur bebas alias browsing di internet, saya menemukan beberapa blog yang membahas mengenai Vipassana ini. Mulai dari blog dalam negeri maupun luar negeri. Link blog-blog tersebut terdapat di akhir posting ini yaa...

    Awalnya saya tertarik, karena selama ret-ret sepuluh hari, peserta tidak diperkenankan untuk bicara (Berdiam diri yang mulia), berinteraksi, kontak fisik maupun mata, tidak menulis, tidak membaca buku, dan tentu saja tidak menggunakan gadget. Ditambah lagi, meditasi ini tidak memperbolehkan adanya intervensi agama maupun kepercayaan-kepercayaan ataupun dogma-dogma apapun. Meditasi ini bersifat universal yang berarti untuk siapapun. Ditambah dengan keadaan keuangan saya saat itu, saya harus puasa jalan-jalan keluar kota dan Vipassana ini tidak berbayar alias gratis. Peserta boleh memberikan donasi serelanya saja setelah selesai meditasi.

    Akhirnya dengan nekad, saya mendaftar melalui website Vipassana. Tidak tanggung-tanggung, saya mendaftar ret-ret yang berlangsung dari tanggal 22 Desember sampai 2 Januari. Dimana berarti saya melewatkan perayaan Natal dan tahun baru. Saya juga akhirnya melewatkan liburan bersama keluarga. Apakah ini semua akan sebanding...?

    Beberapa hari sebelum hari-H, saya mendapat e-mail untuk mengonfirmasi kehadiran saya. E-mail tersebut dikirimkan sampai 3 kali banyaknya. Saya kan jadi mikir ya.... apa nggak usah aja ya.... tapi akhirnya saya memutuskan untuk... “kapan lagi ah... punya waktu 10 hari ga ngomong...” 

    Akhirnya harinya pun tiba dimana saya harus berangkat ke tempat Vipassana yang berada di daerah Bogor. Saya memilih untuk membawa mobil sendiri...kalau-kalau saya mendadak ingin kabur. Hahaha...




    (perjalanan menuju Dhamma Java)


    ___

    Saya tiba di tempat Vipassana sekitar pk.14:30. Pada informasi yang tertera di e-mail, program baru akan dimulai pk.17:00. Jadi begitu saya tiba, saya melakukan registrasi ulang dan mendapat kunci loker untuk menaruh barang-barang berharga selain HP (karena HP dikumpulkan terpisah) serta seprai dan selimut.


    (Locker)

    Saya pun bergegas menuju ke kamar saya. Kamar saya berada di dorm B, tepat dibawah Dhamma Hall, tempat dimana meditasi kelompok dilaksanakan. Kamar yang saya dapatkan merupakan kamar yang berisi murid-murid baru. Satu kamar berisi empat orang. Sedangkan murid-murid lama mendapatkan kamar sendiri-sendiri. Mungkin supaya murid-murid lama bisa lebih konsentrasi saat meditasi di kamar masing-masing ya...

    Jujur, 2 jam pertama saya disana, saya merasa sangat amat bosan. Sempat terpikir, apa saya pulang sekarang ya mumpung belum mulai...hehehe...tapi sayang ah udah nyetir jauh-jauh kalau langsung menyerah tanpa hasil, pikir saya.
    (Proses registrasi ulang)


    Pada pk.17:00, kami berkumpul di ruang makan untuk diberikan suguhan lontong dan semacam olahan singkong (saya kurang paham namanya...tapi lumayan enak sih...hahaha).

    Oh ya, makanan selama ret-ret adalah makanan vegetarian ya. Nah saya juga baru tahu, kenapa vegetarian, karena selama ret-ret kita harus mematuhi lima buah sila. Sila-sila tersebut adalah:

    1.Menghindari diri dari pembunuhan makhluk hidup apapun;
    2.Menghindari diri dari pencurian;
    3.Menghindari diri dari semua kegiatan seksual apapun;
    4.Menghindari diri dari berbicara tidak benar;
    5.Menghindari diri dari mengkomsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang.

    Terdapat tiga sila tambahan yang diharapkan untuk dijalankan oleh para siswa lama (yakni siswa yang telah menyelesaikan satu kali kursus dengan S. N. Goenka atau dengan para asisten gurunya):


    6.Menghindari diri dari menyantap makanan setelah tengah hari;
    7.Menghindari diri dari menikmati kesenangan sensual dan berhias diri; 
    8.Menghindari diri dari menggunakan tempat tidur yang tinggi atau mewah.

    (sumber: https://www.dhamma.org)

    Jadi, membunuh hewan untuk dimakan juga termasuk dari sila pertama diatas. Ternyata melanggar sila dapat mengganggu meditasi kita. Seperti contohnya larangan untuk makan malam, ternyata agar perut kita tidak terlalu kenyang dan mengganggu konsentrasi.

    Setelah selesai makan dan ngobrol-ngobrol dengan peserta lain, kami mendengarkan beberapa informasi yang perlu diketahui demi kelancaran kelangsungan ret-ret meditasi Vipassana ini.


    (Jadwal sehari-hari selama ret-ret (sumber: https://www.dhamma.org)

    Usai mendengarkan informasi, HP dikumpulkan kepada pelayan dhamma. Pelayan dhamma ini merupakan orang-orang sukarelawan dari management Dhamma Java, tempat ret-ret meditasi Vipassana di Bogor. Dengar-dengar, para pelayan dhamma ini sudah berpuluh-puluh kali ikut ret-ret meditasi Vipassana. Pantas saja tenang sekali dalam menghadapi kami yang cerewet dan banyak mau. Hahaha...  

    Setelah HP dikumpulkan, kami masih boleh bicara sampai pk.18:00 dimana meditasi pertama dilaksanakan.

    ___

    Pertama saya akan mulai dari menceritakan secara singkat teknik-teknik meditasi yang diajarkan selama disana ya... baru nanti saya lanjut bicara tentang bagaimana rasanya berada di dalam sana selama sepuluh hari, tanpa kontak keluar maupun kontak dengan orang-orang di dalam sana.

    Ok, the journey begins...

    Dalam ruang meditasi, lokasi duduk kami ditentukan oleh para pelayan dhamma. Saya dapat dibagian belakang. Rupanya memang siswa-siswa baru dilokasikan di bagian belakang. Saya akhirnya paham sih kenapa... tidak lama setelah mulai bermeditasi, kami sangat berisik gonta-ganti posisi dan kentut serta sendawa sana sini hahaha...sangat mengganggu konsentrasi bukan?

    Memasuki ruang meditasi, saya melihat dua orang guru di atas podium yang kira-kira setinggi 50cm. Podium itu dilapisi kain putih dan terdapat lampu kecil ditengahnya. Membuat suasana jadi khusyuk. Mohon maaf, karena HP sudah dikumpul, saya jadi tidak bisa foto ruang Dhamma Hall. Jadi saya ambil foto dari google aja ya...



    (sumber: https://lostandsearchingblog.wordpress.com/2016/03/22/dhamma-java-vipassana-meditation/)


    Kami pun langsung duduk menempati sitting cushion masing-masing dan mulai bermeditasi...

    Meditasi dipandu dengan rekaman audio dari suara S.N Goenka sendiri. Rekaman tersebut menggunakan bahasa Inggris dan kemudian terdapat terjemahan bahasa Indonesia yang artinya sama persis dengan bahasa Inggrisnya. Hanya saja rekaman bahasa Indonesianya tidak berintonasi (seperti audio pada Google Translate gitu loh...). Mungkin untuk menghindari adanya penyimpangan arti atau pengertian dari kata-kata tersebut.

    Meditasi yang diajarkan dari hari pertama (tanggal 23 Desember) hingga hari ke tiga adalah teknik meditasi Anapana. Tekniknya hanya memperhatikan nafas. Ya, hanya memperhatikan nafas. Begitu saja... apa adanya. Nafas saya ternyata agak terengah-engah...lalu saya mulai merubahnya menjadi nafas yang lebih rileks. Eh, tiba-tiba suara S.N Goenka muncul di speaker, yang artinya kira-kira begini... “Hanya perhatikan nafas...apa adanya...jangan mencoba mengubahnya...jika keluar hanya dari lubang kiri, atau lubang kanan, atau keduanya, perhatikan saja... apa adanya...apa adanya...” Jadi saya kembali memperhatikan nafas saya yang terengah-engah itu... tanpa mencoba mengubahnya.

    Begitulah teknik yang diajarkan hingga hari ke tiga. Memperhatikan nafas kemudian mengamati sensasi di lubang hidung dan di atas bibir. Memperhatikan secara objektif, seolah-olah kita sedang memperhatikan aliran sungai yang begitu saja mengalir, tidak perlu diubah.

    Ya, itu saja. Tapi percayalah, sangat sulit dilakukan!!!

    S a n g a t    a m a t    s u l i t.

    Mungkin setengah jam pertama, pikiran saya mulai kemana-mana sampai saya tersentak dan membuka mata, “Loh kok saya ada disini?”. Intinya, instruksi dari S.N Goenka, jika pikiran kita sedang lari kemana-mana, kemudian kita tersadar, kembali lah mengamati nafas... 

    Guna dari meditasi yang dinamakan Anapana ini adalah untuk melatih fokus kita pada bagian kecil yaitu didalam hidung dan dibawah hidung atau diatas bibir. Merasakan sensasi yang terdapat disitu. Sensasi yang tidak dibuat-buat alias apa adanya. Mengamati kenyataan bahwa kita ada disini sekarang, bukan sedang dalam pikiran-pikiran kita atau imajinasi-imajinasi kita yang sedang jauh bepergian.


    (my thoughts and I who tried to not to wonder too far...)

    Pada hari ke empat, kami mulai diajarkan teknik Vipassana. Teknik ini dilakukan dengan cara mengamati sensasi diseluruh tubuh. Untuk melakukannya, harus berurutan dari atas ubun-ubun hingga ujung jari kaki. Urutannya bebas tetapi harus selalu sama setiap kali meditasi. Hal ini untuk menghindari buyarnya konsentrasi. Begitu saja kita mengamati sensasi secara objektif selama berulang-ulang kali dari hari ke empat sampai hari ke sepuluh.

    Pada beberapa bagian tubuh, tentu ada bagian yang sangat mudah dirasakan sensasinya, tetapi ada juga yang sangat sulit bahkan tidak terasa apa-apa. S.N Goenka berpesan untuk tidak mengharapkan adanya sensasi. Jika ada, ya ada, jika tidak, ya tidak. Amati realita.

    “...Semua sensasi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan pada tubuh, memiliki sifat yang sama yaitu, muncul dan lenyap...tidak abadi...”


    Ia juga berpesan agar mengamati sensasi tersebut dengan objektif. Janganlah bereaksi (menggaruk, berkomentar, menekan, dan sebagainya) atau memberikan pengamatan subjektif atas sensasi tersebut. Misalnya, pundak kita ngilu, amati saja bahwa rasa ngilu itu hanya sebuah rasa yang datang dan pergi... tidak abadi... tidak abadi... jika sensasi itu menyenangkan, misalnya tidak ada rasa sakit sama sekali, amati secara objektif juga bahwa rasa nyaman ini tidak abadi...hanya sementara... muncul dan lenyap... Semua sensasi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan pada tubuh, memiliki sifat yang sama yaitu, muncul dan lenyap...tidak abadi.

    "...menerima apa adanya itu adalah keputusan terbaik saat meditasi Vipassana. "

    Walaupun meditasi itu terkadang membuat kita kesal dan bingung... namun menerima apa adanya itu adalah keputusan terbaik saat meditasi Vipassana. Kalau tidak, meditasi kita akan terasa sangat tidak nyaman, menyedihkan, bahkan ada momen-momen dimana saya merasa ingin menangis atau bahkan ingin pulang karena sulit sekali berkonsentrasi dan terbawa oleh pikiran-pikiran saya. Oleh karena itu jika sudah sulit berkonsentrasi, S.N Goenka mengajarkan agar kembali mengamati nafas untuk membuat pikiran menjadi fokus  lagi (Anapana) dan baru lanjut kembali mengamati sensasi pada tubuh (Vipassana).


    Dua kata kunci dalam teknik Vipassana adalah: 

    Balance and awareness Ketenang-seimbangan dan kesadaran.

    Dua hal yang membuat kita menderita menurut teknik Vipassana adalah: 

    Aversion and craving Kebencian dan ketamakan (keinginan berlebih).


    Pada hari ke sepuluh, kami diajarkan teknik terakhir yaitu Metta Bhavana. Teknik ini merupakan teknik untuk merasakan getaran vibrasi cinta kasih tanpa pamrih dalam tubuh dan kemudian memancarkannya keluar melalui vibrasi-vibrasi dari tubuh. Menurut teknik ini, kita hanya bisa merasakan vibrasi cinta kasih jika kita sedang dalam keadaan tenang dan seimbang. Teknik ini diajarkan untuk digunakan setiap kali setelah kita selesai meditasi Vipassana di rumah masing-masing.

    Setelah sesi teknik Metta Bhavana ini, kamipun boleh berbicara kembali kepada satu sama lain. Satu hal yang saya sadari, semua orang tersenyum berbinar-binar setelah keluar dari Dhamma hall hari itu. Entah karena terkena vibrasi cinta kasih, atau karena senang boleh bicara kembali hahaha...!

    Pondasi dari latihan ini adalah sīla--moralitas.Sīla memberikan suatu dasar bagi pengembangan samādhi --konsentrasi pikiran; dan pemurnian pikiran dicapai melalui paññā--kebijaksanaan. (sumber: https://www.dhamma.org)

    (Tersenyum puas setelah selesai sepuluh hari! :D)

    (Mendiang S.N Goenka, guru Vipassana yang menginisiasi adanya kursus Vipassana untuk semua orang tanpa terbatas agama ataupun kelompok tertentu)
               
              Yang menurut saya penting untuk diketahui:

    •      Saat ret-ret Vipassana, peserta tidak diperbolehkan membawa benda-benda apapun dan melakukan ritual atau hal apapun yang berhubungan dengan agama, ritus, organisasi, dogma, atau kepercayaan apapun.
    •      Teknik ini sangat logis dan tidak ada sama sekali hal-hal mistis, atau hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan rasional.
    •      Keseluruhan teknik meditasi ini sangat melarang peserta untuk membayangkan objek visual, kata-kata, nyanyian, atau hal apapun saat kita bermeditasi. Alasanya, karena hal-hal ini hanya membuat kita ketergantungan dan tidak membebaskan diri kita dari penderitaan yang sesungguhnya terjadi (sadar atau tidak sadar) dan malah menambah ketergantungan dalam diri kita.
    •      Saat melakukan teknik Vipassana kita harus melakukan Adhitthana atau tekad yang kuat strong determination. Oleh karena itu kita diminta (namun tidak diwajibkan) untuk mempertahankan posisi duduk tanpa membuka mata, tangan, dan kaki selama satu jam meditasi. (Saya hanya berhasil mungkin...ya... tiga atau empat jam dari 100 jam meditasi dan hal ini ternyata sangat wajar loh bagi murid-murid baru maupun yang sudah dua atau tiga kali ikut).
    •      Terdapat dua orang guru, pria dan wanita. Guru ini berfungsi untuk membantu kita jika kita memiliki kesulitan dalam hal teknik meditasi. Beberapa hari sekali, guru akan memanggil murid-murid secara berkelompok dan menanyakan apakah kita bisa melakukan teknik tersebut sesuai instruksi. Pada jam-jam tertentu kami juga diperbolehkan untuk menghampiri guru dan bertanya soal teknik meditasi. Yang saya kagumi adalah guru tidak pernah menjawab pertanyaan dengan tidak rasional atau subjektif atau bahkan menghubungkan dengan hal-hal diluar nalar, semua dapat dijelaskan dengan masuk akal.
    •      Peraturan-peraturan selama ret-ret bertujuan agar kita bisa bermeditasi dengan lebih lancar. Peraturan-peraturan tersebut sudah berdasarkan riset puluhan tahun dari ribuan murid, sehingga sebaiknya diikuti jika ingin dapat bermeditasi dengan serius. Seperti misalnya kita tidak boleh bicara, karena saat kita ngobrol, pasti jadi terpikir saat meditasi. Atau tidak boleh makan malam, karena jika terlalu kenyang, kita akan ngantuk atau sakit perut saat meditasi.
    •      Walaupun kita tidak boleh bicara, kita boleh bicara dengan guru dan seorang pelayan dhamma yang bertanggung jawab atas peserta wanita jika memiliki problem yang berhubungan dengan teknik meditasi atau fasilitas. Misalnya jika kita ternyata sakit maag dan harus makan malam.

    ___

    Nah... jadi bagaimana rasanya berada sepuluh hari di dalam sana, Vi?

    Hari pertama dan kedua


    (Pemandangan saya sehari-hari)

    Saya merasa B O S A N. Bosan yang hakiki. Bosan yang disertai rasa penasaran, apa lagi ya... teknik yang akan diajarkan. Saya juga merasa tertantang untuk bisa konsentrasi mengamati nafas saat meditasi Anapana. Jujur, pikiran saya bepergian jauh sih... tapi kata Guru, pikiran-pikiran yang keluar saat meditasi itu harus diabaikan karena jika kita bereaksi seperti kesal atau malah menyukai pikiran tersebut, kita hanya menimbulkan lapisan kebencian baru atau lapisan ketamakan baru. Justru semakin bagus jika semakin keluar pikiran-pikiran yang ‘kotor’ tersebut. Itu akan membantu kita menjernihkan pikiran bawah sadar kita karena memang pikiran-pikiran tersebut datangnya dari pikiran bawah sadar.

    Ibarat seperti langit dan awan, ada awan yang muncul, abaikan saja, nanti dia mulai berlalu, berlalu dengan sendirinya, dan langit biru mulai terlihat.

    Jam-jam saat saya luang, saya berjalan-jalan ditaman atau tidur. Sebenarnya tidak bicara itu tidak sesulit itu bagi saya. Tidak ada HP juga tidak sulit. Tapi yang sulit adalah bagaimana saya bisa menerapkan “Terima apa adanya... terima realita” sesuai dengan teknik meditasi itu karena keinginan-keinginan untuk melakukan ini dan itu terus menghantui saya. Misalnya, “Ah...pulang dari sini mau ini ah mau itu ah... duh... jadi pengen cepet pulang!!”. Lain waktu juga saya berpikir "Duh... kalau ada Indomie enak nih..." Tapi kemudian saya berpikir... yaudah lah itu bisa kapan aja, kalau nggak ngapa-ngapain selama sepuluh hari kan belum tentu ada kesempatan lagi. Hehehe...


    Hari ke lima 


    Hanya ada aku bersama pikiranku,

    apakah kita mampu bersahabat dengan kenyataan?

    - pikiranku setiap hari.


    Saya sangat amat suntuk.

    Saya berbaring di tempat tidur, melihat ke sebelah pojok ada peserta lain yang juga sama suntuknya dengan saya. Ia sedang mengamati kedua tangannya dengan serius.

    Saya kemudian mengambil senter dan memainkannya. Saya juga membaca label-label pada baju, bungkus tissue, kosmetik, dan lainya. Saya kemudian membuat origami dari tissue karena saya tidak punya kertas.

    (tempat biasa saya jalan-jalan dan bengong)

    Kadang saat saya sedang berjalan-jalan di taman, saya merasa kami semua nampak seperti situasi di rumah sakit jiwa. Bengong, jalan perlahan-lahan, mengamati pohon, mengamati daun, ada juga yang melakukan peregangan, dan lainya. Oh ya, kita tidak boleh olahraga ya... bahkan tidak boleh yoga karena dapat mempengaruhi kondisi fisik kita dan menganggu meditasi.


    Saya juga sempat marah pada S.N Goenka, pada teknik ini, pada semua hal disana dan berkata, “Dah lah! Gue juga udah bahagia!!! Teknik ini mah buat orang-orang yang depresi berat... gue selama ini fine-fine aja...!”

    Tapi kemudian saya tersentak dan berpikir, lah sekarang teknik ini benar, bahwa saya jadi menderita karena tidak bisa menerima realita bahwa saya masih disini, harus menjalani ini, dan semakin saya marah-marah atau ngeluh, saya akan semakin sengsara dan hanya menimbulkan lapisan kebencian baru dalam diri saya.

    Akhirnya, walaupun terkadang saya bingung dengan maksud dari teknik meditasi ini, saya tetap melakukannya. Ya...siapa tahu ini bisa untuk melatih diri saya agar bisa lebih bersabar dan berkonsentrasi karena saya lumayan kinestetik alias harus gerak terus dan banyak belajar dengan langsung mempraktekan sesuatu. Hahaha...

    (Tempat 'hiburan' kami satu-satunya)


    Hari ke enam


    Akhirnya untuk berdiam diri,

    saya belajar dari pohon di taman

    - pikiranku saat jalan-jalan di taman.


    Lucunya di hari ke enam saya lagi malas-malasnya. Saat bel pk.04:00, saya bilang “bodo amat deh.. tidur lagi..” saya akhirnya tidur lagi dan malah mimpi...

    Saya mimpi teman-teman saya datang menjenguk saya dan menuliskan sebuah tulisan di tembok kamar saya. Tulisan itu ditulis oleh teman saya, saya tidak ingat tulisanya apa tetapi tulisan tersebut memotivasi saya untuk tetap berada di dalam sana. Saat kami sedang jalan-jalan , saya kemudian panik dan berkata kepada teman-teman, “Eh... ayo buruan, gue harus balik ke penjara... kan gue masih jadi tahanan...!” dan kemudian saya terbangun lalu bergegas ke Dhamma Hall untuk meditasi pagi HAHAHA...ternyata pikiran bawah sadar saya menganggap ini seperti di penjara. Well, it is indeed. Tapi karena melihat tulisan pada dinding yang bahkan saya tidak ingat apa, saya jadi termotivasi lagi.

    (Sisi area wanita)

    Setelah hari ke enam, hari-hari berikutnya terasa lebih cepat. Mungkin juga karena saya sudah mulai bisa memahami maksud dari teknik Vipassana tersebut. Saya jadi lebih bisa menerima realita bahwa saya harus menjalani ini untuk sekarang ini.

    Dalam sehari-hari bahkan saat makan, jika makanannya tidak saya sukai, saya tetap memakannya karena saya ingin belajar menerapkan teknik meditasi tersebut pada kenyataan sehari-hari. Saat air panas di kamar mandi mati, saya menerapkan teknik ini juga, bahwa rasa dingin ini hanya muncul dan lenyap... tidak abadi. Jika saya semakin kesal karena airnya tidak panas, maka saya akan semakin sengsara.

    (Ruang makan)

    Saya juga mulai melihat keindahan dari berdiam diri yang mulia itu alias nggak boleh berinteraksi satu dengan lain. Saat matahari pagi sedang cerah-cerahnya, kami hanya diam, berdiri diatas pantulan sinar matahari dan menikmati hangatnya matahari pagi itu. Saat hujan deras dan saya melihat orang kebingungan membuka payung, tanpa bicara, kontak mata mapupun fisik, saya mengambil payung dan menekan tombol di payung tersebut sehingga payung tersebut terbuka. Kemudian orang itu langsung mengikuti hal yang saya lakukan. Saya jadi belajar, begitu juga dalam hidup ini bukan? Semua orang selalu bilang, “kalau mau jadi contoh, buktiin aja dari kelakuan loe... jangan cuma ngomong!” Hehehe...

    Oh ya, di hari ke enam ini ada kejadian konyol. Semua dikarenakan teman sekamar saya takut pada cicak yang merayap di tembok dekat tempat tidurnya. Kami semua jadi terbangun dan berusaha mengusir cicak tersebut sehingga kami semua bicara. Saya tertawa kesal karena berdiam diri kami buyar hanya karena seekor cicak. Hahaha!


    Hari ke delapan


    (Kamar saya)

    Malam di hari ke delapan saya terbangun pk.00:00. Saya tidak bisa tidur lagi hingga akhirnya saya memutuskan untuk mencari pelayan dhamma wanita yang bertanggung jawab atas peserta wanita. Agak nekad sih, tapi sudah hampir 2 jam saya tidak bisa tidur, dan otak saya sangat sadar, pendengaran juga tajam. Saya kemudian keluar ke kamar pelayan dhamma, mengetuk pintu dan dengan sangat menyebalkan berkata “Kak, saya tidak bisa tidur, boleh minta minuman hangat nggak...” anehnya saya malah nangis sedikit. Mungkin itu merupakan kumpulan mental breakdown saya dari hari pertama yang saya tahan-tahan karena malu dengan teman sekamar.

    Malam itu saya duduk di ruang makan ditemani si pelayan dhamma tersebut, memegang segelas milo hangat sambil berusaha menenangkan diri. Saya semakin merasa bersalah saat melihat wajah pelayan dhamma tersebut tidak sedikit pun terlihat terganggu dengan kelakuan saya yang sangat kekanak-kanakan ini. Nampaknya Ia sudah biasa.

    Pelan-pelan saya mulai bertanya, “Apakah saya tidak bisa tidur karena efek meditasi ya, Kak?” Lalu Ia mulai menjelaskan bahwa memang banyak yang tidak bisa tidur saat ret-ret meditasi. Bisa karena kita tidak banyak beraktifitas sehingga tubuh tidak perlu tidur selama itu, atau bisa juga karena meditasi terus menerus sehingga kita menjadi lebih sensitif terhadap suara dan otak semakin fokus. Tapi dia memberikan saran kepada saya untuk tidak khawatir dan tidak perlu ‘craving’ untuk tidur. Jangan marah jika tidak bisa tidur. Amati saja pernafasan atau sensasi di tangan atau rusuk yang bersentuhan dengan kasur. “Kalau tubuhmu lelah pasti tidur sendiri kok.” Katanya berusaha meyakinkan saya.

    Akhirnya karena tidak enak, saya berusaha untuk meyakinkan diri dan kembali ke kamar. Benar saja, semakin saya ingin tidur, saya jadi semakin tidak bisa tidur dan membayangkan hal-hal menyeramkan yang tidak ada, jadi saya hanya berdoa kemudian mengamati rusuk saya, dan berpikir... semua ini sementara...sementara... dan tertidur.

    Lucunya, 'hilangnya' saya di tengah malam membuat teman sekamar saya yang tidak sengaja terbangun menjadi khawatir dan paginya bertanya pada saya,"Semalam loe kemana! Gue kira loe kabur soalnya gue liat loe pakai jaket terus jalan keluar!" Saya dengan santainya menjawab, "Kemarin nggak bisa tidur... terus minum milo..." hahaha! Lagi-lagi berdiam diri kami buyar karena hal konyol...hufftt....
    (atas: Dhamma Hall, bawah: Dorm B dimana kamar saya berada)

    Keesokan harinya, begitu lagi. Saya terbangun karena suara kembang api yang begitu keras (Saat itu saya baru sadar ternyata itu malam tahun baru). Padahal dari pagi sampai malam saya telah berusaha hanya tidur siang satu kali (biasanya 2-3 kali) dan melakukan banyak jalan-jalan bahkan makan agak banyak supaya bisa tidur. Memang sebuah ujian saat meditasi. Akhirnya saya menerapkan lagi tips dari si pelayan dhamma tersebut... dan dengan cepat saya bisa kembali tertidur.

    Saya ternyata baru sadar bahwa saya memiliki kebiasaan ini dari kecil. Kebiasaan membangunkan orang jika saya tidak bisa tidur. Maka itu setiap kali saya travelling sendirian, saya selalu punya kesulitan untuk tidur. Menginap di hostel dengan banyak traveller lain selalu menjadi solusi tepat bagi saya, kecuali saat saya pernah beberapa kali mendapat hostel yang kosong alias tidak ada tamu lain. Hasilnya saya selalu tidur saat menjelang matahari terbit dan tubuh jadi tidak segar saat jalan-jalan. Tetapi ternyata ini adalah 'perasaan' yang harus saya amati secara objektif bahwa hal-hal yang saya takuti itu sebenarnya tidak ada dan harusnya diabaikan saja. 


    Hari-hari terakhir


    Seperti laron-laron yang mulai mati perlahan seusai menikmati indahnya 

    cahaya lampu terakhir pada pukul lima...

    Begitupula kah rasa yang ternyata fana...

    - pikiranku saat duduk di depan Dhamma Hall subuh-subuh.


    Di hari ke sembilan kami semua jadi sangat fokus bermeditasi. Kami tidak mau menyia-nyiakan waktu kami yang tinggal sedikit lagi. Saya dan teman-teman sekamar yang biasanya tidur siang saat jam meditasi di kamar, benar-benar menggunakan waktu tersebut untuk bermeditasi dengan serius.

    Hingga hari kesepuluh datang, dimana kami akan diperbolehkan untuk bicara. Meditasi pagi pk.04:30 yang biasa sepi, kali ini ramai karena merupakan meditasi pagi terakhir kami. Setelah meditasi Metta Bhavana, pk.10:00, kami diperbolehkan untuk bicara.

    Saya tersenyum lebar mengetahui diri saya yang sungguh amat tidak stabil ini bisa menyelesaikan sepuluh hari yang luar biasa ini. Sungguh merupakan perjalanan naik turun yang lebih banyak turunnya dari pada naiknya. Tapi benar-benar sebuah pengalaman fisik dan pikiran bawah sadar yang tidak terbayarkan.

    (Dhamma Hall)

    "...Jika sesuatu menimbulkan rasa nyaman, kita akan secara tidak sadar terus mencari hal itu lagi. Namun jika sesuatu itu menimbulkan rasa tidak enak, kita akan secara tidak sadar menghindarinya..."

    Sesuai dengan perkataan S.N Goenka di awal-awal ret-ret, Ia berkata bahwa ‘teori kebahagian’ dalam Vipassana ini memang sudah sangat awam dan diterima secara pikiran sadar oleh kita. Kita semua tahu bahwa untuk bahagia kita harus ‘ikhlas’ harus ‘enjoy aja...’. Tapi pada kenyataanya mengapa sangat sulit untuk melakukannya, karena pikiran bawah sadar kita terus menerus terbiasa dipenuhi kebencian dan ketamakan yang terus tertimbun. Jika sesuatu menimbulkan rasa nyaman, kita akan secara tidak sadar terus mencari hal itu lagi. Namun jika sesuatu itu menimbulkan rasa tidak enak, kita akan secara tidak sadar menghindarinya.

    "...Kita terus menerus secara tidak sadar maupun sadar menyalahkan sekitar kita sebagai penyebab ketidak-bahagiaan kita..."

    Kita terus menerus secara tidak sadar maupun sadar menyalahkan sekitar kita sebagai penyebab ketidak-bahagiaan kita. Padahal yang membuat kita tidak bahagia adalah ‘reaksi’ kita terhadap ‘sensasi-sensasi’ yang kita dapat saat kita berhadapan dengan hal-hal yang kita sukai maupun tidak sukai.

    Oleh karena itu, meditasi ini memberikan pengalaman secara fisik yang intensif, agar secara pikiran bawah sadar kita bisa lebih terbiasa ikhlas dan menerima realita dalam menjalani hidup.

    ___

    (Trust me, they look much more beautiful when they smile yet much smarter when they are in silent. Hahaha... Mohon maaf kalau agak dekil karena sesungguhnya lagi bersihin kamar mandi!)

    Sepulang Vipassana...

    Hari ini, 6 hari setelah selesai meditasi, entah mungkin karena masih ‘fresh
    from the oven’ tapi saya jadi lebih ikhlas menjalani hidup.

    Aneh sih... aneh banget, karena saya orangnya suka banget benci sesuatu yang bahkan tidak melakukan apa-apa ke saya. Misalnya, orang itu pakai baju model A, saya jadi benci melihat orang itu. Padahal kan bukan salah dia ya...  Tapi setelah keluar dari sana, otak saya jadi tidak bereaksi kepada hal-hal itu lagi karena mungkin telah dilatih untuk tidak langsung bereaksi pada ‘sensasi’ atau ‘perasaan’ yang timbul dalam diri saya.

    Lalu juga, beberapa kebiasaan saya yang sangat bergantung pada sesuatu jadi hilang begitu saja. Aneh banget. Padahal selama saya meditasi disana, selalu terbayang-bayang. Misalnya, nonton Youtube, main game, ngemil, buka socmed dan lain-lain. Sebelum meditasi, saya tidak bisa tidur kalau belum nonton Youtube atau TV, tapi sekarang bisa lepas.

    Tadi siang ketika saya sedang berada di dalam bus dan suhu udara sangat panas. Semua penumpang bus ‘bereaksi’ dengan keadaan tidak nyaman itu. Beberapa mengeluh kepanasan, beberapa kipas-kipas, beberapa gonta-ganti posisi duduk. Saya yang juga dalam hati mengeluh kepanasan ini, berusaha menerapkan teknik ini. Pelan-pelan berkata dalam hati, semakin saya ngeluh, semakin menderita... lalu saya mulai mengamati nafas dan sensasi di tubuh sambil memahami bahwa sensasi panas ini hanya datang dan pergi, tidak abadi. Kemudian saya tertidur lelap. Begitu tiba ditujuan, teman yang duduk di sebelah saya berkata yang kurang lebih begini, “kayaknya gue juga butuh deh meditasi itu... biar gue nggak menderita gara-gara nggak betah kalau nggak nyaman      kayak tadi...”.Hehehe...

    Eh tapi, meditasi ini bukan berarti membuat kita jadi nggak punya perasaan ya... tapi membantu kita untuk mengurangi perasaan-perasaan benci, tamak, sedih, dan lainya yang berlebih agar kita bisa lebih seimbang dan tenang. Ketika pikiran bisa lebih seimbang dan tenang, kita bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan bahkan bisa melakukan kebaikan-kebaikan yang tidak disangka. 

    Meditasi ini juga tidak membuat saya menjadi tidak percaya pada agama yang saya anut. Malah saat melakukan meditasi, saya jadi bisa lebih 'relate' dengan ajaran-ajaran agama yang selama ini sudah lama saya ketahui. Misalnya, kenapa tidak boleh menyembah berhala, tentang mengasihi seperti Tuhan telah mengasihi saya, tentang tabur tuai, mengampuni orang yang bersalah kepada saya sebab Ia tidak tahu apa yang Ia perbuat, tentang dimana hatimu berada disitulah hartamu berada dan masih banyak lagi. 

    Bahkan beberapa ayat Alkitab dapat saya hubungkan dengan teknik ini dan juga dengan ceramah S.N Goenka yang kami dengar setiap malam. S.N Goenka juga berpesan agar selalu melakukan kebaikan seperti juga 'Tuhan' dalam setiap agama yang kita anut telah melakukannya terlebih dahulu agar hidup kita bisa lebih bijaksana dan bahagia.

    (Bersama teman-teman sekamar)

    Untuk ikut ret-ret Vipassana ini, menurut saya hanya dibutuhkan dua modal:
    Sabar dan tidak mengharapkan apa-apa dari Vipassana ini.

    Tips yang menurut saya penting:
    Saat disana, hanya ada diri saya dan pikiran saya, jadi jika pikiran saya tidak bisa diajak kerja sama, maka saya akan menyulitkan diri saya sendiri.

    Setiap orang memiliki perjalanan Vipassana-nya masing-masing. Bahkan beberapa orang yang sudah beberapa kali ikut mengaku mendapat manfaat yang berbeda-beda setiap kali ikut atau malah tidak mendapat apa-apa sama sekali. 

    Setelah boleh bicara, saya sempat ngobrol-ngobrol dengan beberapa peserta. Saya kagum pada ibu-ibu yang duduk di depan saya saat meditasi. "Wah, tante keliatannya bisa ya tahan 1 jam nggak gerak-gerak... hebat deh..." lalu si tante dengan malu menjawab "gerak kok... tapi dikit... badanku malah sakit semua sebenarnya... aku nggak bisa ngerasain bagian yang nggak sakit dimana..." Meanwhile in another conversation with another student... "Ih... aku tuh kalau ngeliat kamu yah... kamu tuh kuat banget deh meditasinya..." kata seorang ibu-ibu kepada saya yang  lalu membalas,"Keliatannya aja tante kuat dari luar, padahal mah di dalam nahan kesemutan! Hahaha" lalu kami jadi tertawa. Ternyata salah besar membandingkan diri kita dengan orang lain saat meditasi. 

    Intinya, selalu datang sebagai gelas kosong dan jangan mengharapkan seberapa banyak air yang dituangkan dalam gelas itu. Ingat, tidak ada yang akan membantu kita saat bermeditasi. Hanya diri kita yang bisa membuat meditasi kita berhasil atau gagal. Tentu saja tidak lupa mintalah restu dari yang 'Maha Kuasa' agar kita bisa lebih lancar dalam bermeditasi.


    Selama sepuluh hari ini, kita hanya diajarkan teknik-teknik awal. Ibaratnya, kita baru saja lulus TK-nya Vipassana. Selanjutnya kita harus terus berlatih dan rajin-rajin menerapkan teknik ini dalam diri kita sehari-hari. Perjalanan ini masih panjang dan tidak akan pernah selesai. Mendiang S.N Goenka sendiri bilang, mungkin dibutuhkan beberapa 'hidup' lagi untuk bisa memurnikan pikiran menjadi tenang dan seimbang yang sempurna hingga mencapai kebijaksanaan yang membawa kita pada kebahagiaan. Jadi jangan sedih kalau duduk diam satu jam aja nggak bisa ya Vi...


    Overall, if I can describe Vipassana in my own sentence...

    It was a deep journey of my undercover mind.



    ...and it was the best new year activity I’ve ever had in my life.


    Terimakasih sudah membaca, semoga mendapat apa yang dicari.
    Jika sudah pernah atau belum pernah Vipassana, boleh dong... berbagi pengalaman atau bertanya, supaya semakin kaya informasi yang didapat.


    Informasi lengkap mengenai Vipassana:
    https://schedule.vridhamma.org/java
    https://www.dhamma.org
    https://www.dhamma.org/id/about/code

    beberapa blog yang saya baca mengenai Vipassana sebelum saya akhirnya memutuskan untuk ikut:
    • https://medium.com/s/story/what-really-went-down-at-a-10-day-silent-vipassasna-meditation-retreat-taught-by-s-n-goenka-7c3ad60d027e
    • https://www.vice.com/id_id/article/evqyap/pesan-moral-sesudah-ikut-10-hari-meditasi-keheningan-kalian-pasti-kangen-ponsel
    • https://www.njlifehacks.com/vipassana-review-what-i-learned/
    • https://catatanperjalanan09.wordpress.com/2018/06/22/10-hari-ke-dalam-diri-vipasanna/
    • https://lostandsearchingblog.wordpress.com/2016/03/22/dhamma-java-vipassana-meditation/
    • http://hugomattsson.se/post/159376178440/10-days-meditation-at-dhamma-java-in-bogor







    Continue Reading
    Older
    Stories

    About Me

    My photo
    Vivi Rans
    View my complete profile

    Featured Post

    Europe Travelling - Transportasi Untuk Keliling Eropa [ Bus ]

    Labels

    Life and Travel Cerita Cerita Exchange ke Ceko AUSTRIA Ceko Travel Tips Brno HUNGARIA JAPAN Olomouc & Ostrava PARIS SANTORINI Tulisan

    Blog Archive

    • April 2019 (1)
    • January 2019 (1)
    • August 2017 (1)
    • July 2017 (1)
    • January 2017 (1)
    • November 2016 (1)
    • July 2016 (2)
    • June 2016 (1)
    • May 2016 (2)
    • April 2016 (2)
    • March 2016 (3)
    • February 2016 (7)
    • January 2016 (1)

    Most Popular

    • Vipassana | Saya setelah 105 Jam Meditasi dan 10 Hari Tidak Bicara
    • [ INDONESIA ] - Wae Rebo, Welcoming Civilization.

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top