Gunung Gede | Ketika Pertama Kali Naik Gunung dan Disambut Badai
April 26, 2019
Photo by: Vincent & Felix karena saya ga kebayang bawa kamera ke gunung (parno, hehehe)
Akhirnya saya naik gunung! :D
Setelah lama mencari teman dan tanggal
untuk mendaki gunung. Akhirnya tanggal 19 lalu saya dan 6 orang lainya
berangkat menuju Gunung Gede.
Entah kenapa dari dulu penasaran banget
naik gunung. Walaupun beberapa kali pernah trekking seperti ke kawah ratu atau
bukit-bukit kecil, tapi tetap aja berbeda dengan naik gunung beneran kan?
Ok, jadi tanggal 18 malam, kita bertujuh
berangkat dari Jakarta menuju basecamp Gunung Putri. Kira-kira kita sampai di
basecamp jam 2 pagi. Langsung tidur dan bangun jam 6:30 untuk siap-siap
pendakian. Rombongan kami terdiri dari 5 pendaki pemula dan 2 pendaki
berpengalaman. Penting banget untuk ada
pendaki berpengalaman dalam kelompok, saat kita (para pendaki pemula) ingin
mendaki sebuah gunung.
Saat di basecamp, kami tidak sengaja
bertemu dengan 2 orang kawan dari Umang, pendaki berpengalaman dalam rombongan
kami. Akhirnya, tepat pukul 07:00 kamipun memulai pendakian bersama. Tentu saja
diawali dengan doa.
Jalur pendakian Gunung Gede melalui Gunung
Putri ini adalah jalur tersingkat di banding jalur lainya. Tapi lumayan...
karena nanjak terus dan jarang ada bonus (jalan landai). Jalurnya terdiri dari
akar dan batu-batuan. Kebanyakan sih dari akar-akar pohon besar. Saya sendiri
cukup terbantu dengan adanya akar dan pohon-pohon ini, jadi bisa pegangan. Lebih
nyaman kalau bawa trekking pole, sayangnya saya nggak bawa, dan di jalur Gunung
Putri ini jarang banget ada batang pohon atau ranting yang jatuh dan bisa
dijadikan trekking pole :(
Kalau saran saya sih, mending pergi ke Gunung Gede ini jangan pas tanggal merah
seperti saya karena ramainya poooll!! Di beberapa titik, kita bahkan harus
mengantri untuk mendaki. Nah, hal ini bikin jadi makin capek karena ketika
tempo jalan kita udah enak, jadi harus berhenti dan mulai membangun tempo lagi.
Apalagi kalau berhenti malah jadi terasa pegal-pegalnya.
Dari base camp ke Pos 1, kita masih melalui
perkebunan warga dan jalanan masih agak landai walau dari awal sudah mulai
menanjak dikit-dikit. Memasuki pos 1, langsung disambut hutan rimba. Dari situ
perjalanan langsung menanjak terus. Jarak Pos 1 ke Pos 2 memakan waktu 1 jam.
Perkebunan warga |
Di setiap pos ada warung menjual minuman
dan makanan ringan. Lumayan buat mengisi perut dan menambah energi. Tapi jangan
istirahat terlalu lama juga karena nanti jadi ke-enakan dan ritme jantung yang
sudah pas jadi kembali normal lagi. Pos yang paling luas adalah pos 3, karena
setelah dari Pos 3 ini, pendakian mulai lebih sulit, menanjak terus, dan lebih
jauh.
Kondisi pos 3, agak semerawut karena terlalu ramai |
Selama mendaki, saya hanya berpesan pada
diri saya untuk tidak mengeluh sekalipun. Saya tahu betul, ketika saya mulai
mengeluarkan keluhan, pasti jadi ngeluh terus dan akhirnya jadi capek. Mulai
dari Pos 3, saya juga mendaki sambil nyengir. Nyengir biar nggak bete-bete
banget akibat keringat yang makin bercucuran dan jalur yang nggak kelar-kelar
nanjaknya. Pokoknya segala kalimat-kalimat motivasi saya keluarin supaya nggak
mental breakdown. Terutama kalimat, “It’s only a physical pain, don’t add any
mental pain, otherwise the misery will be multiplied” (kata-kata yang saya
kutip dari meditasi Vipassana, cek post sebelum ini)
Sampai di pos 4, kami sudah mulai senang
karena tandanya kami sudah semakin dekat dengan alun-alun suryakencana. Tempat
dimana kita akan mendirikan tenda.
Oh ya, pendakian kami ditemani kabut dan
hujan gerimis. Jadi rambut pasti basah karena cuaca lembab. Untung saya
mengenakan kaos dan celana quick-dry, teman-teman yang menggunakan kaos katun
sudah basah kuyup karena keringat. Saya juga mengantungi handuk quick-dry kecil
untuk menyeka keringat supaya kulit tidak terlalu basah karena dapat membuat
kita jadi lebih mudah kedinginan. Semakin ke atas semakin dingin. Dalam
perjalanan menuju pos 4, saya juga sempat lemas dan sedikit sesak. Pada
momen-momen inilah saatnya permen dan cokelat beraksi. Jangan lupa minum air
juga. Saya hanya meneguk sekali tapi ditelan pelan-pelan supaya terasa banyak.
Hehe. Soalnya kalau minum kebanyakan juga jadi mual.
Untung ada pohon yang melindungi kita dari gerimis dan matahari |
Sekitar jam 4 sore (Saya benar-benar nggak
liat jam lagi, jadi pakai perkiraan aja ya...) kami tiba di gerbang Alun-Alun Suryakencana. Wah, ramainya bukan main. Sampah pop mie, kopi, botol minuman
dimana-mana. Heran juga sih, udah ke gunung tetap aja ga cinta alam. :(
Kami beristirahat sejenak dan menunggu
Umang yang cukup jauh tertinggal di belakang. Saat beristirahat, kami bertemu
dengan 2 kawan Umang yang lain. Mereka memutuskan untuk masak roti bakar
sebentar. Kamipun kecipratan, lumayan banget buat ganjel perut.
30 menit kami penunggu Umang, tapi belum
juga datang. Masalahnya, tenda utama dan logistik dibawa oleh Umang, kami hanya
membawa tenda kecil kapasitas 2 orang. Tapi karena cuaca semakin dingin dan kami
juga sudah basah semua, akhirnya kami memutuskan untuk jalan dulu ke Alun-alun
Suryakencana bagian barat, dimana kami akan berkemah. Perjalanan memakan waktu
sekitar 30 menit.
Perjalanan menuju tempat berkemah, diselimuti kabut pekat dan hujan |
Karena lama menentukan tempat untuk
mendirikan tenda, kamipun jadi diguyur hujan lebat. Untunglah 2 kawan Umang tadi beserta
rombongan lain kebetulan lewat dan segera membuka flysheet untuk kami berteduh.
Barang-barang juga sudah sempat basah, tenda juga basah semua. Setelah tenda
jadi, kami ber-5 (Para pendaki pemula) diminta untuk masuk dulu ke dalam tenda
supaya tidak kedinginan. Sedangkan yang lain berteduh di tenda orang lain.
Disana saya merasakan budaya gotong royong yang sudah lama tidak saya temui
lagi di Jakarta. Cukup terharu melihat orang-orang ini dengan sukarela membantu
kami, meminjamkan kompor untuk sekedar masak air panas supaya kami semua tidak
kedinginan. Saya sering dengar bahwa pendaki-pandaki biasanya memiliki
solidaritas yang kuat. Kali ini saya benar-benar mengalaminya.
Sekitar 3 jam kami ber-5 duduk berdempetan
di dalam tenda berkapasitas 2 orang (mungkin besarnya hanya sebesar 2 orang
dewasa setinggi 160cm). 1 orang lagi, Dhifan, duduk dibagian luar tenda dengan
beratapkan pelindung tenda. Mencoba memasak apa yang ada sambil menahan
dinginnya angin ditengah hujan deras malam itu. Susu, energen, indomie. Yang
penting perut terisi dulu. Gunung Gede ini cukup bahaya karena sering terjadi
kasus hipotermia, jadi kami harus berhati-hati.
Saat memikirkan kemungkinan terburuk jika
Umang tidak juga datang, tiba-tiba kami mendengar beberapa orang memanggil nama
Umang. Kami pun senang karena itu tandanya Umang sudah tiba dan kami semua bisa
berganti pakaian. Kami berjalan ke seberang jalan untuk pindah ke tenda
kapasitas 4 orang. Sedangkan tenda yang kami tempati ini dibiarkan dulu karena
tidak memungkinkan untuk membongkar akibat hujan besar.
Kami pikir ujian dari alam sudah selesai
disitu. Namun ternyata tidak.
Setelah berganti pakaian, kami baru sadar
bahwa tenda kami ternyata basah hingga bagian dalam agak tergenang air. Kaus
kaki saya basah semua, jaket juga sudah basah. Namun memang katanya jika hujan
dengan angin, pasti tenda ikut basah juga. Akhirnya mau tidak mau kami
menggelar matras, walaupun tetap rembes. Setelah makan malam, tadinya kami
masih ngotot untuk bisa pisah 2 tenda karena tenda kapasitas 4 orang ini tidak
memungkinkan untuk kami tidur ber-5. Tapi tiba-tiba hujan berubah menjadi badai
diikuti angin besar.
Pelindung tenda kamipun lepas. Kami terperangkap di dalam tenda dan hanya duduk menanti apakah badai akan segera reda. Kami jadi ngobrol-ngobrol sedikit tentang pendakian ini. Saya juga jadi ingat bahwa beberapa jam sebelum kami berangkat ke basecamp Gunung Putri, saya melihat 2 ekor kucing mati di jalan. Saya bukan orang yang mistis-mistis. Tapi 2 ekor kucing itu mengingatkan saya, bahwa jangan pernah angkuh karena kita bukan apa-apa. Begitu juga kondisi yang kita alami saat di tenda itu. Walau sebenarnya kami juga sudah punya ‘bayangan ideal’ akan pendakian kami ini dan bahkan mengeluh “Kenapa sih hujan! Kapan sih berhentinya...!?”, tapi Alam Semesta berkata lain dan kami sungguh tidak bisa berbuat apa-apa. Ini bukan wahana taman bermain yang bisa diatur oleh mesin, ini alam.
Pelindung tenda kamipun lepas. Kami terperangkap di dalam tenda dan hanya duduk menanti apakah badai akan segera reda. Kami jadi ngobrol-ngobrol sedikit tentang pendakian ini. Saya juga jadi ingat bahwa beberapa jam sebelum kami berangkat ke basecamp Gunung Putri, saya melihat 2 ekor kucing mati di jalan. Saya bukan orang yang mistis-mistis. Tapi 2 ekor kucing itu mengingatkan saya, bahwa jangan pernah angkuh karena kita bukan apa-apa. Begitu juga kondisi yang kita alami saat di tenda itu. Walau sebenarnya kami juga sudah punya ‘bayangan ideal’ akan pendakian kami ini dan bahkan mengeluh “Kenapa sih hujan! Kapan sih berhentinya...!?”, tapi Alam Semesta berkata lain dan kami sungguh tidak bisa berbuat apa-apa. Ini bukan wahana taman bermain yang bisa diatur oleh mesin, ini alam.
Karena badai tidak juga reda dan kami tidak
ada yang berani keluar, akhirnya kami memutuskan untuk menggelar sleeping bag
dan tidur. Pk. 01:00, saya terbangun karena menggigil kedinginan. Punggung saya
basah. Ternyata air sudah merembes hingga ke dalam sleeping bag. Ketahanan
waterproof matras dan sleeping bag kami sudah tidak bisa menahan air yang terus
perlahan masuk melalui tenda. Salah satu teman kami juga terbangun dan sempat
kesal karena dia sama sekali tidak bisa tidur akibat baju yang basah dan posisi
yang sangat sempit untuk bebaring. Dia juga tidur paling dekat dengan pintu
tenda sehingga terasa lebih dingin. Karena saya takut dia terkena hipotermia,
sayapun membuka emergency blanket saya agar dia bisa tidur. Kemudian dia
bergantian berbaring dengan teman yang tidur di sebelahnya.
Pk. 03:00, badai sempat reda dan terdengar
suara orang-orang keluar tenda. Suhu juga sudah lumayan hangat. Tapi kemudian
pk.04:00, dimana seharusnya kami bangun untuk summit, badai semakin besar. Kali
ini angin tidak kasih ampun. Tenda benar-benar dipukul-pukul angin. Suhu juga
semakin dingin, sepertinya mencapai 0-5 derajat celcius karena minyak goreng
yang kami bawa menjadi beku (titik beku minyak adalah di bawah 7 derajat
celcius). Saya sampai tidak berani tidur terlentang karena punggung akan basah
dan sangat amat terasa dingin. Kamipun tidak jadi summit atau mendaki ke puncak
karena kondisi alam dan kondisi tubuh tidak memungkinkan.
Sungguh merupakan ujian yang harus kami lalui dari Alam Semesta.
Cuaca pagi hari yang sangat dirindukan setelah semalaman diterjang badai |
Foto dulu mumpung cerah ya kan! |
Kami turun melalui jalur Gunung Putri lagi.
Ramainya bukan main. Jauh lebih ramai daripada saat kami mendaki. Kali ini saya
banyak melihat anak kecil dan bayi. Heran juga sih berani bawa bayi kesana.
Jalur juga sedikit berubah karena hujan
badai semalam. Banyak pohon tumbang dan tanah longsor. Tanah juga menjadi
licin. Beberapa kali orang terpeleset. Perjalanan turun ini lebih terasa berat
karena tumpuan hanya pada kaki. Jempol juga terasa sakit karena selalu terkena
sepatu saat turun. Ngomong-ngomong tentang sepatu, saya sangat bersyukur karena
tidak jadi membeli sepatu gunung harga 300-san, karena benar kata mas-mas di
toko outdoor waktu itu, “Percaya deh mbak, harga nggak bohong.” Sepatu saya
yang saya beli dengan harga 700-san ini betul-betul membantu saya sepanjang
perjalanan. Dengan sol dalam yang nyaman dan sol luar yang dirancang sedemikian
rupa, telapak kaki saya jadi tidak pegal dan saya jadi tidak mudah terpeleset.
Kaki juga jadi terlindungi dari genangan air karena waterproof. Pada perjalanan
turun saya sudah agak kehilangan keseimbangan dan jalan juga tertatih-tatih
karena lutut dan jempol yang sangat sakit. Tapi semakin dipikirkan maka rasa
sakit akan semakin terasa. Jadi saya bablas terus sampai bawah.
Pk. 19:00, dengan stamina yang hampir
habis, kami akhirnya tiba di basecamp Gunung Putri. Kami langsung menuju warung
dan makan malam. Rasanya nikmat menemukan kembali peradaban. Walaupun saya
yakin bahwa manusia seharusnya hidup dekat dengan alam tapi lahir dan besar di
kota merupakan tatangan tersendiri bagi saya saat kembali ke alam bebas.
Pada akhirnya, pendakian ini mengajarkan
saya banyak hal. Terutama saat harus pasrah dan tetap tenang karena kondisi
yang tidak bisa dikendalikan. Untungnya walau alam tidak bisa diatur, kadar harapan bisa diatur agar tidak kecewa. ;)
Terimakasih atas pengalamannya Gunung Gede,
terimakasih Alam Semesta,
terimakasih Alam Semesta,
sampai bertemu di lain waktu!
Cao! |
++ besoknya saya nggak kebangun sampai siang, dan badan sakit semua! Bonus kuku jempol kaki hitam karena darah beku. Hahhahaa!
1 comments
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete